Tari Soreng



Profil Kesenian Soreng



Kesenian Tradisional Soreng menggambarkan tari prajuritan yang menceritakan Kadipaten Jipang Panulan yang dipimpin oleh Seorang Hadipati yang bernama Haryo Penangsang dan Patih Ronggo Metahum beserta prajurit diantaranya Soreng Rono, Soreng Rungkut, dan Soreng Pati.
Haryo Penangsang adalah orang yang mempunyai watak adigang-adigung dan adiguna punya iri hati terhadap kedudukan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Kemudian Haryo Penangsang menyusunkekuatan dengan sering mengadakan latihan perang di alun-alun.
Sewaktu latihan berlangsung tiba-tiba dating seorang pekatik yang dipotong daun telinganya dan juga di kalungi surat penantang. Setelah dibaca, Haryo Penangsang memerintah semua prajuritnya untuk bergegas berangkat menuju ke Sungai Bengawan Sore.
Sejarah Ringkas Perjalanan Kelompok Kesenian Soreng
Kesenian tradisional Soreng, dulu nama populernya adalah Prajuritan, bentuk pertunjukan merupakan tari kelompok. Kesenian ini konon peninggalan dari nenek moyang yang hidup dan berkembang di antara lereng Gunung Merbabu dan Gunung Andong, tepatnya di Dusun Bandungrejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
Dalam perjalanannya pertunjukan kesenian prajuritan tahun 60-an dilengkapi dengan peran penari tokoh oleh Bapak Taryono denganmengambil cerita dari Kadipaten Jipang Panulan yang dipimpin seorang Hadipati bernama Hayo Penangsang dengan segenap prajuritnya antara lain: Soreng Rono, Soreng Pati, Soreng Rungkut, Patih Ronggo Metahun dan pekatik sehingga kesenian ini dinamakan Soreng.

Pada tahun 80-an kesenian sedikit ditata lebih baik alur cerita, penempatan penari tokoh, tat arias busana maupun iringan oleh Seksi Kebudayaan Depdikbud Kabupaten Magelang dan di populerkan lewat lomba/festival tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi< dan Nasional dan berhasil menyabet Juara 1.
Sampai sekarang permintaan untuk pentas sangat luar biasa pada bulan-bulan tertentu seperti suronan, saparan, 17 Agustus-an baik di wilayah Kabupaten Magelang dan sekitarnya dalam 1 bulan mencapai 24 kali pentas/pertunjukan seni.
Kesenian Soreng masuk dalam adegan Karya Besar Sendratari Mahakarya Borobudur yang spektakuler di produksi oleh ISI Surakarta dan PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko dalam 1 tahun kurang lebih 4 kali pertunjukan di panggung Aksobya Borobudur.
Dengan penambahan peran penari tokoh, kesenian ini menjadi tontonan lebih menarik dan atraktif sehingga sangat digemari oleh masyarakat pendukungnya dan tahun 1974 mendapat pengesahan dari Depikbud Kabupaten Magelang.

Sekatenan



Upacara Sekaten


Sekaten atau upacara Sekaten (berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat) adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhammad s.a.w. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (Rabiul awal tahun Hijrah) di alun-alun utara Surakarta dan Yogyakarta. Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.
Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi Dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa: Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendopo Ponconiti menuju masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.

Tradisi Midodareni



MIDODARENI


Menurut adat Jawa, Malam Midodareni adalah malam menjelang akad nikah dan panggih.  Midodareni berasal dari kata widodari. Masyarakat Jawa tradisional percaya bahwa pada malam tersebut, para bidadari dari kayangan akan turun ke bumi dan bertandang ke kediaman calon pengantin wanita, untuk menyempurnakan dan mempercantik pengantin wanita.
Midodareni berasal dari kata dasar widodari (Jawa) yang berarti bidadari yaitu putri dari sorga yang sangat cantik dan sangat harum baunya.
Midodareni biasanya dilaksanakan antara jam 18.00 sampai dengan jam 24.00 ini disebut juga sebagai malam midodareni, calon penganten tidak boleh tidur.
Saat akan melaksanakan midodaren ada petuah-petuah dan nasihat serta doa-doa dan harapan yang di simbulkan dalam:
  • Sepasang kembarmayang (dipasang di kamar pengantin)
  • Sepasang klemuk ( periuk ) yang diisi dengan bumbu pawon, biji-bijian, empon-empon dan dua helai bangun tulak untuk menutup klemuk tadi
  • Sepasang kendi yang diisi air suci yang cucuknya ditutup dengan daun dadap srep ( tulang daun/ tangkai daun ), Mayang jambe (buah pinang), daun sirih yang dihias dengan kapur.
  • Baki yang berisi potongan daun pandan, parutan kencur, laos, jeruk purut, minyak wangi, baki ini ditaruh dibawah tepat tidur supaya ruangan berbau wangi.
Adapun dengan selesainya midodareni saat jam 24.00 calon pengantin dan keluarganya bisa makan hidangan yang terdiri dari :
  • Nasi gurih
  • Sepasang ayam yang dimasak lembaran ( ingkung, Jawa )
  • Sambel pecel, sambel pencok, lalapan
  • Krecek
  • Roti tawar, gula jawa
  • Kopi pahit dan teh pahit
  • Rujak degan
  • Dengan lampu juplak minyak kelapa untuk penerangan (zaman dulu)
Well, itu kan mitosnya. Tapi makna Malam Midodareni lebih dalam dari pada itu. Bisa terlihat dari prosesi yang akan dilaksanakan pada Malam Midodareni . Prosesi malam Midodareni antara lain adalah (sesuai urutan) :
Jonggolan / Nyantri
Jonggolan / Nyantri adalah datangnya calon pengantin pria ke tempat calon mertua. ‘Njonggol’ diartikan sebagai menampakkan diri. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa dirinya dalam keadaan sehat dan selamat, dan hatinya telah mantap untuk menikahi putri mereka.
Pada saat Malam Midodareni, calon pengantin pria melakukan jonggolan tidak didampingi oleh orang tua nya. Namun hanya di dampingi oleh wakil keluarga yang telah ditunjuk oleh orang tua pengantin pria. Pada saat Malam Midodareni calon pengantin pria memberikan calon pengantin wanita berupa bingkisan yang berisi semua kebutuhan sehari-hari calon pengantin wanita. Bingkisan ini yang biasa disebut Seserahan. Dan harus dalan jumlah ganjil.
Selama berada di rumah calon pengantin wanita, calon pengantin pria menunggu di beranda dan hanya disuguhi air putih oleh calon ibu mertua / ibu calon pengantin wanita.
Tantingan
Setelah calon pengantin pria datang menunjukkan kemantapan hatinya dan diterima niatnya oleh keluarga calon pengantin wanita saatnya calon pengantin wanita (sekali lagi) ditanya oleh kedua orang tuanya tentang kemantapan hatinya.
Pada malam midodareni calon pengantin wanita hanya diperbolehkan berada di dalam kamar pengantin. Dan yang dapat melihat hanya saudara dan tamu yang wanita saja. Para Gadis dan Ibu-ibu.
Kedua orangtua mendatangi calon pengantin wanita di dalam kamar, menanyakan kemantapan hatinya untuk berumah tangga. Maka calon pengantin wanita akan menyatakan ikhlas menyerahkan sepenuhnya kepada orangtua.
Pembacaan dan Penyerahan Catur Wedha
Catur Wedha adalah wejangan yang disampaikan oleh calon bapak mertua / bapak calon pengantin wanita kepada calon pengantin pria. Catur Wedha ini berisi empat pedoman hidup. Diharapkan Catur Wedha ini menjadi bekal untuk calon pengantin dalam mengarungi hidup berumah tangga nanti.
Wilujengan Majemukan
Wilujengan Majemukan adalah silaturahmi antara keluarga calon pengantin pria dan wanita yang bermakna kerelaan kedua pihak untuk saling berbesanan. Selanjutnya ibu calon pengantin wanita menyerahkan angsul-angsul atau oleh-oleh berupa makanan untuk dibawa pulang, orang tua calon pengantin wanita memberikan kepada calon pengantin pria :
  • Kancing gelung : seperangkat pakaian untuk dikenakan pada upacara panggih
  • Sebuah pusaka berbentuk dhuwung atau keris, yang bermakna untuk melindungi keluarganya kelak.

Slider(Do not Edit Here!)